Pages

Friday 28 February 2020

STOMATITIS MEDIKAMENTOSA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
                 Berbagai macam obat dapat mempengaruhi terjadinya lesi dalam mukosa mulut. Reaksi peradangan pada mukosa mulut karena pemberian obat. Reaksi ini ditemukan terkait dengan obat-obatan yang di gunakan secara lokal maupun sistemik. Reaksi alergi umum dari mukosa mulut adalah erythema multiformae yang ditandai dengan banyak ulserasi diseluruh rongga mulut. Pemyakit ini dapat mengancam jiwa dan fulminan seperti Steven Johnson Syndrome & Toxic Epidermal Necrolysis. Obat-obatan yang paling sering dikaitkan adalah antibiotik seperti penicilin, sulphanamides, tetrasiklin, NSAIDS, sulphanomides, carbamazepine, barbiturat, dll.
                 Stomatitis medikamentosa adalah lesi oral yang jarang ditemui, dan biasanya di sebabkan oleh pemberian obat secara sistemik. Lesi dapat bervariasi dari penyebaran eritema ke daerah luas ulserasi dengan atau tanpa vesikel atau formasi bula. Lesi biasanya melibatkan gingiva, palatum, bibir dan lidah.(1)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1     Definisi Stomatitis Medikamentosa
Stomatitis medikamentosa adalah berbagai reaksi sensitivitas setelah intake obat-obatan sistemik dan obat kimia lainnya pada dosis normal, akan tetapi tidak terkait dengan aktivitas toksisitas obat-obatan (1).
2.2     Etiologi
Reaksi hipersensitivitas pada penggunaan obat-obatan secara sistemik (2). Beberapa golongan obat memiliki kecenderungan menyebabkan reaksi alergi dibanding obat lain, serta beberapa pasien mempunyai potensi lebih untuk bereaksi terhadap obat. Stomatitis ini dapat timbul di area manapun dari tubuh, biasanya melibatkan kulit, namun dapat juga melibatkan mukosa oral.  
2.3     Patofisiologi
Istilah alergi digunakan untuk mendefinisikan reaksi imun spesifik terhadap satu atau lebih subtansi eksogen yang disebut allergen.
Sistem imun terdiri dari dua komponen fungsional: komponen adaptif dan sebuah kompenen bawaan. Sistem  imun bawaan terletak dalam organ seperti kulit dan mukosa. Ketika sebuah antigen memasuki tubuh, sel T membantu secara khusus (Sel Th) yang menanggapi materi asing dengan dua cara yaitu respon Th1 dan respon Th2. IgE dikaitkan dengan respon Th2 yang umumnya terjadi segera setalah terpapar. Gejala klinis reaksi IgE adalah karena reaksi Inflamasi Th2 cytokinin. Antibodi IgE juga memulai serangkaian reaksi yang menghasilkan pelepasan mediator inflamasi seperti histamine, protein C-Reaktif dan bahan kimia lainnya dari sel-sel khusus yang disebut Sel Mast. Peran Sel Mast dalam inflamasi jaringan alergi diketahui dengan baik. Interleukin (IL)-4 terhadap stem cell factor (SCF)  mengatur status fungsional sel mast dan meningkatkan pelepasan mediator yang bergantung pada IgE (3)

Gambar : Kasper., Braunwald., Fauci dkk. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th edition. New York : McGraw-Hill. P 1948

2.1     Gambaran Klinis
Eritema Nonspesifik secara umum, vesikel, dan ulser lainnya  spesifik pada pola reaksi rongga mulut. Beberapa pasien mengeluhkan rasa gatal, terbakar atau sakit parah dengan ringan sampai keluhan sistemik sedang (2).
Stomatitis medikamentosa dicirikan berdasarkan reaksi alergi tipe I oleh adanya edema Quinke (Angiodema). Pada reaksi alergi tipe I juga menyebabkan reaksi urtikaria pada kulit dalam bentuk papula eritematosa disertai pruritus atau sensasi gatal. Mukosa yang terkena menunjukkan distribusi lesi tersebar yang bervariasi dalam tampakan beberapa area eritema, sampai area erosi atau ulserasi yang luas. Pasien akan mengeluh sensasi terbakar dengan sensasi terbakar dengan sensasi rasa yang berubah dan kesulitan menelan (3).
2.1     Histopatologi
Pola non spesifik dari mucocitis subakut yang mengandung limfosit bercampur dengan eosinophil dan neutrophil (3).
Gambar : Cawson, Odell. 1993. Colour Guide Oral Pathology. London : Churchill Livingstone. P-71
2.2     Perawatan
Agen penyebab dihentikan dan jika obat diperlukan dapat diganti dengan menyediakan obat dengan hasil terapi yang sama. Lesi lokal ringan dapat di kurangi dengan pemberian kortison topikal dan antihistamin. Sementara jika ada infeksi sekunder dapat dicegah dengan pemberian obat germicidal. Secara umum dan lesi berat dapat digunakan adrenalin atau steroid sistemik (3).

BAB III
KESIMPULAN

Reaksi obat yang merugikan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Ini dapat di minimalkan jika dokter gigi mengikuti langkah-langkah ini : sebelum menulis resep, dokter harus bertanya apakah pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat, hindari meresepkan semua obat jika pasien memiliki alergi. Jika pasien datang dengan ulserasi akut dengan edema wajah dengan penggunaan obat-obatan, obat harus segera di berhentikan. Dokter harus memberikan edukasi mengenai obat-obatan yang dapat menyebabkan alergi. Pasien juga diinstruksikan untuk selalu menginformasikan alergi obatnya setiap kali ia berkunjung ke dokter umum maupun dokter gigi.

DAFTAR PUSTAKA

1.    C Pravda, et al. 2014. Stomatitis Medicamentosa: A Case Report With Review. Journal of Oral Hygiene & Health. India: Department of Oral Medicine and Radiology Sathybama University Dental College. Vol.2(2). P-2
2.   Tack Alan D., Roger S Roy. 2002. Oral Drug Reaction. United Stated: Dermatologic Therapy. Vol.12.No.236-250
3.   Md Shaik, et al. 2012. Stomatitis Medicamentosa – A Case Report. Int J Oral-Med Sci. New Delhi. Vol.11 (1). P 57-61.
4.     Kasper., Braunwald., Fauci, et al. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th edition. New York : McGraw-Hill. P 1948
5.   Osterna, et al. 2009. Management of Erytema Multiforme Associated With Reccurent Herpes Infection: A Case Report. JCDA. Vol.5(8). P-597

0 comments:

Post a Comment